Rabu, 03 September 2008

AQIDAH ISLAMIYAH

AQIDAH ISLAMIYAH

Nilai suatu ilmu ditentukan oleh kandungan ilmu tersebut. Semakin besar dan bermanfaat nilainya semakin penting untuk dipelajarinya. Ilmu yang paling penting adalah ilmu yang mengenalkan kita kepada Allah SWT, Sang Pencipta. Sehingga orang yang tidak kenal Allah SWT disebut kafir meskipun dia Profesor, Doktor, pada hakikatnya dia bodoh. Adakah yang lebih bodoh daripada yang tidak mengenal yang menciptakannya ?
Allah menciptakan manusia dengan seindah indahnya dan selengkap lengkapnya dibanding dengan makhluk / ciptaan lainnya. Kemuadian Allah bimbing mereka dengan mengutus para Rasul-Nya, agar mereka berjalan sesuai dengan kehendak Sang Pencipta melalui wahyu yang dibawa Sang Rasul. Yang menerima disebut mu’min adapula yang menolaknya disebut kafir serta ada yang ragu ragu disebut munafik yang merupakan bagian dari kekafiran. Begitu pentingnya Aqidah ini sehingga Nabi Muhammad, penutup para Nabi dan Rasul membimbing umatnya selama 13 tahun ketika berada di Makkah, karena aqidah adalah landasan semua tindakan. Ibarat tubuh manusia seperti kepalanya. Maka apabila suatu umat sudah rusak, bagian yang harus direhabilitasi adalah kepalanya lebih dahulu. Disinilah pentingnya aqidah. Apalagi ini menyangkut kebahagian dan keberhasilan dunia dan akhirat. Dialah kunci menuju surga.
Aqidah secara bahasa berarti sesuatu yang mengikat. Pada keyakinan manusia adalah suatu keyakinan yang mengikat hatinya dari segala keraguan. Aqidah menurut agama yaitu keimanan kepada Allah, Malaikat- malaikat, kitab kitab, Para Rasul, Hari Akhirat, dan keimanan kepada takdir Allah baik buruknya. Dalam syariat Islam terdiri dua pangkal utama.
Pertama, Aqidah yaitu keyakinan pada rukun iman itu, letaknya di hati dan tidak ada kaitannya dengn cara-cara perbuatan (ibadah). Bagian ini disebut pokok atau asas.
Kedua, Perbuatan yaitu cara-cara amal badah seperti solat, puasa, zakat, dan seluruh bentuk ibadah disebut sebagai cabang. Nilai perbuatan ini baik buruknya atu diterima atau tidaknya bergantung yang pertama. Oleh karena itu syarat diterimanya ibadah itu ada dua, pertama : ikhlas karena Allah SWT yaitu berdasarkan aqidah islamiyah yang benar. Kedua : mengerjakan ibadahnya sesuai dengan pertunjuk Rasulullah SAW. Ini disebut amal sholeh. Ibadah yang memenuhi satu syarat saja, umpamanya ikhlas saja tidak mengikuti petunjuk Rasulullah SAW saja tapi tidak ikhlas, karena faktor manusia, umpamanya, maka amal tersebut tertolak. Sampai benar benar memenuhi dua kriteria itu. Inilah makna yang tekandung dalam Al Quran surah Al Kahfi 110 yang artinya : “ Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada Tuhannya.”
Pada masa Rasulullah SAW, aqidah bukan merupakan disiplin ilmu tersendiri karena masalahnya sangat jelas dan tidak terjadi perbedaan perbedaan faham, kalaupun terjadi langsung diterangkan oleh beliau. Makanya kita dapatkan keterangan para sahabat yang artinya berbunyi : “ Kita diberikan keimanan sebelum Al Qur’an”. Nah, pada masa pemerintahan khalifah Ali bin Abi Thalib timbul pemahaman – pemahaman baru seperti kelompok Khawarij yang mengkafirkan Ali dan Muawiyah. Timbul pula kelompok Syiah yang menuhankan Ali bin Abi Thalib dan timbul pula kelompok dari Irak yang menolak takdir dipelopori oleh Ma’bad Al-Juhani.

BAHAYA PENYIMPANGAN PADA AQIDAH
Orang yang melakukan penyimpangan aqidah dia akan berjala tanpa arah yang jelas dan penuh dengan keraguan.
Faktor penyimpangan diantaranya :
1. Tidak menguasainya pemahaman aqidah yang benar karena kurangnya pengertian dan perhatian. Fanatik kepada peninggalan adat dan keturunan. Karena itu dia menolak aqidah yang benar. Seperti firman Allah SWT tentang umat tedahulu yang keberatan menerima aqidah yang dibawa oleh para Nabi “ Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Ikutlah apa yang telah diturunkan Allah,”mereka menjawab : “ (tidak) , tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari ( perbuatan) nenek moyang kami … ( Q.S. Al – Baqarah 170 )
2. Taklid buta kepada perkataan tokoh tokoh yang dihormati tanpa melalui seleksi yang tepat sesuai dengan argument Al Quran dan Sunnah. Sehingga apabila tokoh panutannya sesat, maka ia ikut tersesat. Berlebihan (ekstrim) dalam mencintai dan mengangkat para wali dan orang sholeh yang sudah meninggal, sehingga menempatkan mereka setara dengan Tuhan, atau dapat berbuat seperti perbuatan Tuhan.
3. Lengah dan acuh tak acuh dalam mengkaji ajaran Islam disebabkan silau terhadap peradaban barat yang materialistik itu.

REFERENSI :
” Embun “ Bulletin binroh Islam RSU Dr. Soetomo, Jumat 16 Mei 2008

Tidak ada komentar: